Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ahmad Yunus: Merawat Alam Lewat Sayap Kecil

Dari kecintaan pada kupu-kupu, lahir sebuah ruang hidup yang menjaga keseimbangan alam dan menginspirasi banyak orang untuk peduli kembali pada lingkungan

Kapan terakhir kali kamu melihat kupu-kupu terbang bebas di halaman rumahmu? Pertanyaan itu tiba-tiba muncul di kepala saya beberapa waktu lalu. Dulu, saat masih kecil, kupu-kupu terasa seperti sesuatu yang wajar, menari di antara bunga, hinggap sebentar, lalu terbang lagi. Tapi semakin ke sini, rasanya pemandangan itu mulai jarang. Bukan karena kupu-kupunya hilang seketika, tapi karena tempat mereka untuk hidup makin sempit. Dari situlah saya akhirnya mengenal kisah Ahmad Yunus, seorang pemuda dari Tangerang yang memilih melakukan sesuatu yang jarang terpikirkan: membuat taman khusus sebagai rumah bagi kupu-kupu, dan merawatnya dengan penuh kesungguhan.

Awalnya, saya mengira kisah seperti ini hanya ada di cerita dokumenter atau proyek konservasi besar yang dikelola lembaga internasional. Tapi ternyata, Taman Kupu-Kupu Sukardi lahir dari tangan seorang anak muda biasa, dengan ruang yang terbatas, tapi semangat yang luar biasa. Ia tidak menunggu lembaga besar datang membantu. Ia tidak menunggu kesempatan. Ia justru menciptakannya.

Menurut ceritanya, ide taman ini bermula dari keprihatinan sederhana: semakin sedikit kupu-kupu yang terlihat di sekitar kampungnya. Lingkungan tempat tinggalnya mulai berubah, semakin banyak bangunan dan lahan yang disulap jadi deretan beton. Padahal kupu-kupu tidak sekadar hiasan alam, mereka juga penyerbuk alami. Kalau kupu-kupu hilang, akan ada rantai lain dari ekosistem yang ikut terganggu. Dari kegelisahan itulah, lahir inisiatif kecil yang akhirnya berdampak besar.

Yang membuat saya terus terbayang-bayang adalah gagasan bahwa taman ini bukan dibangun karena “keahlian akademik” atau gelar tertentu, tapi karena rasa sayang pada makhluk kecil yang sering tidak kita anggap. Ahmad Yunus menyiapkan lahan keluarga, menanam tanaman inang untuk ulat, tanaman nektar untuk kupu-kupu dewasa, dan sabar merawatnya. Pelan-pelan, kupu-kupu mulai kembali datang. Mereka menemukan rumah yang aman, jauh dari pestisida, jauh dari beton, dekat dengan tangan yang merawat.

Kini taman kecil itu tumbuh menjadi ruang edukasi. Anak-anak datang, sekolah datang, dan keluarga datang untuk belajar langsung dari alam. Kalau biasanya kita hanya melihat kupu-kupu di buku pelajaran, di sini kita bisa melihat setiap tahap kehidupannya: telur, ulat, kepompong, hingga melepas sayap dan terbang. Rasanya seperti kembali mengingat bahwa sesuatu yang indah butuh proses panjang untuk bisa muncul ke permukaan.

Yang lebih membahagiakan, usaha ini tidak hanya menjaga lingkungan, tapi juga membuat masyarakat sekitar ikut merasakan manfaat. Beberapa tetangga ikut terlibat dalam perawatan taman. Ada juga yang akhirnya membuka usaha kecil di sekitar lokasi saat ada pengunjung. Ini menjadi bukti bahwa konservasi bukan sekadar “menjaga” alam, tapi juga bisa menjadi ruang hidup bersama manusia dan lingkungan berjalan beriringan tanpa saling merusak.

Karena dampak yang nyata inilah, Ahmad Yunus kemudian menerima apresiasi dari SATU Indonesia Awards kategori lingkungan. Bagi sebagian orang, itu mungkin terdengar seperti “penghargaan biasa”. Tapi buat saya, ini tanda bahwa gerakan kecil bisa diperhitungkan kalau dijalankan dengan hati. Di tengah banyak orang yang hanya mengeluh tentang kerusakan alam, ia memilih bergerak. Dan langkah kecil itulah yang akhirnya terlihat.

Yang membuat saya makin kagum adalah konsep yang terasa begitu manusiawi: taman ini tidak megah, tidak dibuat untuk gaya-gayaan, dan tidak “dijual” sebagai destinasi wisata trendi. Ini bukan tempat yang dibangun untuk foto-foto, tapi tempat yang dibangun untuk kehidupan. Ada kehangatan yang terasa dari ceritanya, seperti pelukan kecil dari alam untuk mereka yang masih mau peduli.

Jujur, setelah membaca perjalanan taman ini, saya jadi bertanya ke diri sendiri: kapan terakhir saya benar-benar memperhatikan lingkungan di sekitar rumah? Kita sering berpikir bahwa menjaga alam harus lewat proyek besar, padahal kadang dimulai dari tanaman kecil di halaman, atau dari keputusan sederhana untuk memberi ruang hidup bagi makhluk lain.

Saya belum pernah berkunjung langsung ke Taman Kupu-Kupu Sukardi, tapi saya sudah bisa membayangkan suasananya: bau tanah yang lembap, suara dedaunan yang disentuh angin, dan kupu-kupu yang mengepak pelan seakan menyapa. Entah kenapa, gambaran itu terasa menenangkan. Mungkin karena di tengah dunia yang serba cepat, kita rindu sesuatu yang bergerak pelan namun sungguh-sungguh.

Melihat perjalanan Ahmad Yunus, saya merasa bahwa taman ini bukan hanya tentang kupu-kupu,  tapi tentang harapan. Bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari sesuatu yang besar. Kadang ia lahir dari keberanian untuk memilih jalan yang sunyi dulu, sebelum akhirnya menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Di akhir cerita ini, ada satu hal yang ingin saya bagi sebagai kesan pribadi: semoga kisahnya mengingatkan kita bahwa kepedulian tidak harus menunggu gelar, modal besar, atau panggung. Kadang cukup dimulai dari halaman rumah sendiri, dari rasa sayang yang sederhana.

Dan mungkin suatu hari nanti, kita tidak hanya membaca tentang tempat seperti ini, tapi ikut merawat, dan ikut menyaksikan kupu-kupu kembali menari di langit yang sama.

2 komentar untuk "Ahmad Yunus: Merawat Alam Lewat Sayap Kecil"

  1. Si ke Aek Loba Ly, kupu-kupu masih rame di sini 😁. Saking ramenya, kini awak malah ngerasa, pas para ngeliat kupu--kupu mampir di bunga2 awak, senang rasanya (dulu), sekarang... Agak2 cemana gitu, apalagi kalau udah ngeliat mereka mampir di bunga melati awak, dah lah, sepekan kemudian, pasti bunganya, daunnya... Pada dimakani ulat. Jadi ceritanya... Kupu-kupu ini gak sekadar mampir tapi juga bertelur, yang kasian bunga melatiku🙃

    BalasHapus
  2. Dimana ada kupu kupu disitu ada kehidupan kebahagiaan tumbuhan dan biota lainnya. Di rumah Medan jarang nampak.
    Tapi di rumah binjai kupu kupu sudah jadi teman kucing.

    BalasHapus